Sega puji milik
Allah dan shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW.
Jamaah Tarawih yang
dirahmati Allah,
Sebagaimana sudah
sering disampaikan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berpuasa
dengan tujuan agar manusia mencapai derajat taqwa. Salah satu ciri
taqwa adalah bersyukur pada Allah.
Banyak orang
bersyukur atas nikmat yang besar, tetapi sangat jarang orang
bersyukur atas nikmat yang mereka anggap kecil atau sedikit. Padahal
sesungguhnya tidaklah ada nikmat yang kecil dari Allah, kebodohan dan
pe rsepsi manusia sajalah yang membuat nikmat tersebut tidak
disyukuri.
Ada sebuah cerita
hikmah:
Suatu ketika
Nasyrudin sedang duduk di rumahnya, tiba-tiba datang temannya
mengeluh dan meminta pertolongan.
“Wahai Nasyrudin,”
kata orang itu. “aku memiliki rumah yang sempit, aku tidak kerasan
tinggal di rumah tersebut. Tolong aku agar rumahku menjadi luas,”
Kemudian Nasyrudin
menyuruh orang itu pulang dan memasukan 5 ekor kambing ke dalam
rumahnya.
Besoknya orang itu
datang lagi dan berkata, “wahai Nasyrudin, rumahku menjadi tambah
sempit karena kambing-kambing itu”
Kemudian Nasyrudin
kembali menyuruh orang itu pulang dan menyuruhnya memasukan 5 ekor
unta. Dengan wajah penuh keheranan orang itu pulang dan menuruti apa
yang suruh Nasyrudin.
Besoknya orang itu
kembali lagi dengan wajah sangat marah.
“Nasyrudin,
sekarang aku tidak bisa tidur, aku terhimpit oleh binatang ternak.
Aku hanya bisa berdiri mematung di tumahku,”
“Pulanglah,”
jawab Nasyrudin. “Lalu keluarka semua binatang ternak itu dari
rumahmu.”
Besoknya orang itu
kembali dengan wajah berseri-seri, “Alhamdulillah, sekarang rumahku
menjadi sangat luas sekali, aku bisa tenang tiduran dan melakukan
apapun di rumahku,” kata orang itu dengan penuh semangat.
Padahal rumahnya tak
berubah, apalagi bertambah luas secara fisik dari sebelumnya.
Apa relevansinya
cerita itu dengan ibadah Ramadhan yang kita laksanakan?
Dengan ramadhan ini
rupanya Allah sedang mendidik kita untuk bisa lebih bersyukur dengan
nikmat yang kita peroleh. Segelas air bahkan bergelas-gelas air yang
kita minum setiap harinya, atau bergalon-galon air yang kita minum
tiap bulannya, jarang atau bahkan tidak pernah kita bersyukur, bahkan
mungkin kita tidak menyadari kalau itu adalah sebuah nikmat dari
Allah.
Tapi saat kita
diterpa dahaga dan lapar karena berpuasa, segelas air saat berbuka
terasa sangat nikmat sekali membasahi kerongkongan. Baru pada saat
itu kita merasakan akan nikmat Allah dalam segelas air tersebut,
padahal di hari biasa kita kerap mengabaikannya.
Lalu bagaimanakah
cara kita bersyukur pada Allah?
Para ulama
mengemukakan tiga cara bersyukur kepada Allah. Pertama, bersyukur
dengan hati nurani. Untuk itu, orang yang bersyukur dengan hati
nuraninya sebenarnya tidak akan pernah mengingkari banyaknya nikmat
Allah.
Kedua, bersyukur
dengan ucapan. Lidahlah yang biasa melafalkan kata-kata. Ungkapan
yang paling baik untuk menyatakan syukur kita kepada Allah adalah
hamdalah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa
mengucapkan subhana Allah, maka baginya 10 kebaikan. Barangsiapa
membaca la ilaha illa Allah, maka baginya 20 kebaikan. Dan,
barangsiapa membaca alhamdu li Allah, maka baginya 30 kebaikan.”
Ketiga, bersyukur
dengan perbuatan, yang biasanya dilakukan anggota tubuh. Tubuh yang
diberikan Allah kepada manusia sebaiknya dipergunakan untuk hal-hal
yang positif. Menurut Imam al-Ghazali, ada tujuh anggota tubuh yang
harus dimaksimalkan untuk bersyukur. Antara lain, mata, telinga,
lidah, tangan, perut, kemaluan, dan kaki.
Semoga dengan
ramadhan semabagai shahruttarbiyah
atau
bulan pendidikan bisa membuat kita menjadi insane yang bersyukur atas
nikmat lahiriah maupun batiniah.
wallahu ‘alam
by: abu faiza
Membiasakan
Berbuat Baik
Dalam suatu hadits
qudsi, Allah SWT berfirman “Jikalau
seseorang hamba itu mendekat padaKu sejengkal, maka Aku mendekat
padanya sehasta dan jikalau ia mendekal padaKu sehasta, maka Aku
mendekat padanya sedepa. Jikalau hamba itu mendatangi Aku dengan
berjalan, maka Aku mendatanginya dengan bergegas.” (HR.
Bukhari)
Didalam melihat
jalan hidup masyarakat di sekitar kita, bisa kita lihat bahwa
beberapa orang mempunyai kecenderungan tertentu. Orang yang terbiasa
berbuat maksiyat, maka dari hari kehari dia akan semakin terjerumus
kedalam lembah yang hitam. Sebaliknya orang yang suka sholat
berjamaah ke masjid, maka dia akan ramah ke tetangganya, rutin
berinfaq dan bahagia kehidupan keluarganya.
Semakin seseorang
memperbanyak dan membiasakan berbuat baik, maka semakin banyak
terbuka pintu-pintu kebaikan yang lain. Hal ini sesuai dengan hadits
qudsi diatas bahwa semakin tinggi intensitas dan kualitas ibadah kita
kepada Allah SWT maka semakin dekatlah kita dengan-Nya.
Salah satu kunci
kesuksesan hidup kita adalah bagaimana kita membiasakan berbuat baik.
Semakin kita terbiasa berbuat baik, maka semakin mudah jalan kita
untuk mencapai kebahagiaan hidup. Agar manusia terbiasa beribadah,
maka beberapa ibadah dilakukan berulang dalam kurun waktu tertentu
seperti sholat lima kali dalam sehari, puasa sunnah dua kali seminggu
dan sholat jum’at sekali sepekan.
Permasalahan awal
yang biasanya ditemukan dalam melakukan sesuatu yaitu dalam
memulainya. Memulai suatu aktifitas terkadang lebih berat
dibandingkan ketika melaksanakannya. Maka ketika kita mendorong mobil
yang mogok, akan diperlukan tenaga yang besar saat sebelum mobil
bergerak. Setelah mobil tersesebut bergerak, diperlukan daya dorong
yang kecil. Ada juga sifat kita yang menunda perbuatan baik, padahal
perbuakan baik janganlah ditunda. Kalau kita ada keinginan untuk
menunda, maka tundalah untuk menunda. Hal ini seperti yang
disampaikan Rasulullah saw:
“Bersegeralah
untuk beramal, jangan menundanya hingga datang tujuh perkara. Apakah
akan terus kamu tunda untuk beramal kecuali jika sudah datang:
kemiskinan yang membuatmu lupa, kekayaan yang membuatmu berbuat
melebihi batas, sakit yang merusakmu, usia lanjut yang membuatmu
pikun, kematian yang tiba-tiba menjemputmu, dajjal, suatu perkara
gaib terburuk yang ditunggu, saat kiamat, saat bencana yang lebih
dahsyat dan siksanya yang amat pedih.”
(HR. Tirmidzi)
Salah satu cara
untuk mempermudah kita dalam memulai suatu amal ibadah adalah dengan
mengetahui akan besarnya manfaat yang akan dirasakan. Segala hambatan
atau godaan untuk tidak melaksanakan kebaikan tersebut akan bisa
dilewatkan dengan keyakinan yang kuat. Oleh sebab itu, kita wajib
untuk mencari ilmu tentang fadhilah (kelebihan) dari suatu amalan
atau ibadah. Bahkan untuk menguatkan hati, kita juga perlu mencari
ilmu secara berulang kali. Bahkan beberapa pengulangan dalam Al Quran
digunakan agar manusia semakin ingat.
“Dan
sesungguhnya dalam Al Quran ini Kami telah ulang-ulangi
(peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan
peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari.”
(QS. Al Israa’ 41)
Jadi, mulailah
perbuatan baik yang ingin anda lakukan sekarang dan jangan ditunda.
Kalau belum yakin, perluas dan perdalam ilmu agar kita semakin yakin.
Wallahu a’lam bish
showab.
Malam Lailatul Qadar
adalah malam yang dimuliakan Allah ta’ala. Allah ta’ala
menamainya dengan Lailatul Qadar, menurut sebagian pendapat, karena
pada malam itu Allah Ta’ala mentakdirkan ajal, rizki dan apa yang
terjadi selama satu tahun dari aturan-aturan Allah ta’ala. Hal ini
sebagaimana Allah Ta’ala firmankan:
Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad Dukhan: 4)
Didalam ayat
tersebut Allah Ta’ala menamai Lailatul Qadar karena sebab tersebut.
Menurut pendapat lain, disebut malam Lailatul Qadar karena malam
tersebut memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Allah
Ta’ala menyebutnya sebagai malam yang berkah, sebagaimana
firman-Nya:
“Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya
Kami-lah yang memberi peringatan.” (Ad
Dukhan: 3)
Allah Ta’ala juga
memuliakan malam ini dalam firman-Nya:
“Dan tahukah
kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari
seribu bulan.”
(Al Qadr: 2-3)
Maksudnya, amalan di
malam yang barakah ini menyamai pahala amal seribu bulan yang tidak
ada Lailatul Qadar padanya. Seribu bulan sama dengan 83 tahun lebih.
Ini menunjukkan keutamaan malam yang besar ini. Oleh karenanya Nabi
shallallahu alaihi wasallam berusaha mencari malam Lailatul Qadar.
Beliau bersabda:
“Barang
siapa shalat di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan mengharapkan
pahala, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lampau ataupun yang
akan datang.”
Allah Ta’ala juga
mengabarkan bahwa pada malam itu malaikat Jibril dan ruh turun. Ini
menunjukkan betapa besar dan pentingnya malam ini karena turunnya
malaikat tidak terjadi kecuali untuk perkara yang besar. Kemudian
Allah Ta’ala mensifati malam itu dengan firman-Nya:
“Malam itu
(penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al
Qadr: 5)
Allah ta’ala
mensifati malam tersebut dengan malam keselamatan. Ini menunjukkan
kemuliaan, kebaikan, dan keberkahannya. Orang yang terhalangi dari
kebaikan malam itu berarti terhalangi dari kebaikan yang sangat
banyak. Inilah keutamaan-keutamaan yang besar pada malam barakah ini.
Akan tetapi, Allah
Ta’ala menyembunyikannya di bulan Ramadhan agar seorang muslim
bersungguh-sungguh mencarinya. Sehingga amalnya semakin banyak dan
dengan itu ia menggabungkan antara banyaknya amal di seluruh
malam-malam Ramadhan dan bertepatan dengan malam Lailatul Qadar
dengan segala keutamaan, kemuliaan dan pahalanya. Sehingga dengan itu
ia mengumpulkan antara dua kebaikan. Ini merupakan karunia Allah
ta’ala atas hamba-hamba-Nya.
Ringkasnya, bahwa
Lailatul Qadar adalah malam yang besar (agung) dan berkah. Juga
merupakan nikmat dari Allah ta’ala yang mendatangi seorang muslim
di bulan Ramadhan. Maka jika dia diberi taufik untuk memanfaatkannya
dalam kebaikan, ia akan mendapatkan pahala yang besar dan kebaikan
yang banyak yang sangat dia butuhkan. (Penjelasan Asy-Syaikh Shalih
Fauzan dalam Fatawa Ramadhan, 2/847-849)
Kapan Malam
Lailatul Qadar itu?
Terdapat riwayat
dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa malam Lailatul Qadar
terjadi pada malam 21, malam 23, malam 25, malam 27, atau malam 29
dan akhir malam bulan Ramadhan.
Al-Imam Asy-Syafi’I
t berkata: “Ini menurut saya, wallahu a’lam, karena Nabi
shallallahu alaihi wasallam menjawab sesuai dengan pertanyaannya. Dan
pendapat yang paling kuat bahwa itu terjadi pada malam-malam yang
ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha bahwa Nabi beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan dan beliau mengatakan:
“Carilah
Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim, lihat Shifat Shaum An-Nabi, Asy-Syaikh
Ali Hasan, hal. 87)
Tanda-tanda Malam
Lailatul Qadar
Dari Ubai ia
berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Pagi hari dari
malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar seperti bejana dari
tembaga sampai tinggi.” (HR.
Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas
radiyallahu ‘anhu, ia berkata, bersabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wassallam:
“Lailatul Qadar
adalah malam yang tenang, cerah, tidak panas dan tidak dingin,
matahari terbit di pagi harinya lemah dan berwarna merah.”
(HR. Ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Bazzar, sanadnya hasan.
Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 90)
Wallahu a’lam.